Saturday, January 14, 2012

Dag.. Dig.. Dug..

Dag.. Dig.. Dug..

KURASAKAN detak jantungku tak normal. Sudah empat tahun berlalu, namun perasaanku selalu sama setiap melihatnya ada di depan pintu rumah dari balkon kamarku. Hati ini selalu berdebar setiap melihatnya berdiri di sana dengan sekotak cokelat atau bunga mawar putih favoritku. Betapa sempurna ia menjadi seorang lelaki. Santun, pintar, baik, dan begitu romantis. Di usianya yang baru menginjak 24 tahun ia juga terbilang sudah begitu mapan, memiliki rumah dan mobil sendiri.

Ia selalu senyum sumringah menanti seseorang membukakan pintu untuknya. Aku tak pernah berlari cepat untuk menyambutnya di depan pintu, membiarkan diriku menjadi orang pertama yang menyambutnya, menyuguhkan senyum termanisku. Aku lebih suka melihatnya dari sini. Empat tahun pula dia tak pernah menyadari bahwa aku selalu mengamati kedatangannya dari sini.

Aku menyusun kedua telapak tanganku di atas dada. Merasakan detak jantung yang masih sama. Empat tahun tak memudarkan semuanya. Daryl tetap lelaki yang aku cinta meskipun banyak lelaki lain yang telah mengetuk pintu itu dan meminta hatiku. Membawakan berkuntum bunga yang lebih banyak dari yang pernah Daryl bawa di belakang punggungnya. Bahkan, membawa cinta yang lebih besar dari apa yang bisa Daryl berikan.

“Aku tak mau yang lain. Aku mau kamu saja, Ryl,” ucapku seolah Daryl mampu mendengarnya.

“Ini tidak benar, Ras. Kamu tahu itu.” Aira, sahabatku, menepuk punggungku perlahan.

“Aku tahu.” Kuletakkan kedua tanganku lebih dalam di atas dadaku. Debar jantungku semakin terasa kencang. Aku masih berdiri dan melihat Daryl di depan pintu rumahku.

“Lantas?”

Dag.. Dig.. Dug..

“Detak jantungku setiap melihatnya ini adalah alasan mengapa aku ingin mempertahankan perasaan itu.” Aku tersenyum. Aira tak dapat berkata apa-apa lagi. Mungkin ia sudah lelah menyadarkanku. Tak perlu disadarkan, aku tahu.

Pintu rumah terbuka. Senyum Daryl makin mengembang.

“Selamat pagi, Ras.” Daryl mengeluarkan sebuket bunga mawar putih itu dari balik punggungnya.

Empat tahun sudah aku menyaksikan kejadian yang hampir sama. Aku yang menyukai mawar putih itu, tapi bunga itu bukan untukku. Aku yang menyukai senyum itu, tapi senyumnya bukan untukku. Bukan aku alasan Daryl berdiri di depan pintu rumahku, tersenyum, dan menunggu.

Maafkan aku, Ras. Aku mencintai tunanganmu. Maafkan aku juga karena aku begitu membenci kenyataan bahwa Daryl lebih dulu bertemu denganmu, bukan aku. Seandainya itu terjadi, aku yakin Daryl juga bisa mencintaiku sebesar rasa cintanya padamu. Karena wajah kita begitu serupa.

Mengapa harus Laras, Ryl? Mengapa bukan Saras? Aku? Mengapa harus saudari kembarku?

[THE END]


#15HariNgeblogFF #Day2
Lagi, ini migrasi gue dari tumblr. (13012012) ;)

No comments:

Post a Comment