Tuesday, January 17, 2012

Ada Dia di Matamu.

Picture: weheartit


Bosan membidik setiap ruas pemandangan yang terhampar di hadapanku, kucari sosok Dega melalui viewfinder kamera DSLR-ku. Bukankah memang Dega yang menjadi tujuanku mengeluarkan kameraku? Bodoh, Dega lebih indah dari objek manapun yang pernah kubidik

Aku menemukannya, tiga langkah di sampingku. Semburat cahaya pagi ikut mengagumi wajahnya. Kulihat matanya tertuju ke bawah, seolah mengamati hilir-mudik kendaraan di sana, jalan raya yang cukup padat, bising, dan bau asap knalpot, padahal aku tahu tatapannya kosong belaka.

Satu.. Dua.. Tiga.. Empat.. Lima..

Terus kuabadikan wajah yang hanya terlihat satu sisinya saja itu. Lima foto, satu ekspresi, sama. Apa Dega baru saja mati berdiri? Takut ketinggian karena berdiri di balkon apartemen baruku yang ada di lantai 8 ini? Aku melangkah mendekatinya. Dega masih membatu.

"Pergilah."

Akhirnya detak jantung dan denyut nadi Dega seolah kembali ke dalam tubuh matinya. Ia menoleh ke arahku kemudian memasang tatapan 'sejak kapan kamu berdiri di sampingku?' "Ap—apa, Grid?"

"Aku yakin kamu denger."

"Pergi?"

Aku tak yakin apa aku harus mengulangnya. Jujur aku tak mau Dega pergi sementara aku tahu Dega bukan tipikal pacar yang bisa mengerti apa yang aku mau jika tak kukatakan. Jika kubilang 'pergi' Dega pasti pergi. Buatnya, aku tak lebih penting dari dia, dia yang kulihat dalam binar matanya saat ini.

Dega meletakkan tangan kanannya di kepalaku. Perlahan ia usap rambutku yang bergelombang. Aku enggan menatap mata hitamnya. Aku tahu itu hanya akan membuatku kesulitan berkata-kata.

"Kamu enggak di sini. Buat apa tetap di sini?"

"Enggak gitu, Inggrid. Aku mau sama kamu."

"Ada dia di matamu." gumamku lirih.

"Dia? Siapa?"

"Bukan pertama kalinya kita bicara tentang dia. Alasan kamu lebih betah di kantor daripada sama aku. Aku baru pindah ke apartemen baru, Ga. Aku mau ngerayainnya satu hari aja sama kamu."

Dega menunduk. Tangan kanannya kini meraih tanganku, mencium jari-jari kecilku yang terasa hangat ketika tersentuh bibirnya. "I love you."

"Kamu selalu bilang gitu dalam keadaan seperti ini. What do you want me to say? I love you too? I'm broken."

Seketika jantungku terasa dihujam setelah berhasil mengucapkan kata terakhir dengan nafas yang hampir terputus emosi. Dega, nyawanya seolah pergi lagi. Diam, dingin.

Satu detik.. Dua detik.. Tiga detik.. Empat detik.. Lima detik..

"Satu jam lagi aku balik ke sini ya."

Setelah dihujam, kini jantungku dibom atom menjadi debu. Apa kubilang, Dega tak mengerti hati perempuannya. Aku bingung harus berkata apa. Inikah perempuan? Selalu mengatakan kebohongan. Berkata 'pergi' meski hati berkata 'tinggallah di sini.'

Kebohongan besar hari ini baru saja terjadi. Aku mengangguk.

Dega tersenyum. Senyum pertamanya hari ini. Dia. Dia lebih lihai dalam hal melukis senyum di wajah Dega daripada aku.

"Aku pasti kembali," katanya lalu mengecup keningku dan pergi.

Kalimat itu sangat familiar karena selalu ia ucapkan sebelum meninggalkanku dan berujung pada ingkar. Dega takkan kembali hari ini. Kulihat lagi foto-foto Dega yang kubidik tadi ketika satu-satunya temanku hanyalah kesendirian.

"Ada DIA di matamu." Air mataku perlahan menetes. Setelah tiga minggu tak bertemu Dega, apa hanya ini waktu yang ia miliki?

Kamu. Seandainya saja Dega bukan cinta matiku, takkan kubiarkan aku dinomorduakan karenamu, UANG!!!


Bandung, 17 Januari 2012..
#15HariNgeblogFF #Day6

Enjoy! I appreciate ur comment. ;)

5 comments:

  1. Memang menyakitkan pacaran sama workaholic *sesenggukan*

    ReplyDelete
  2. tapi pacaran tanpa uang ya hambar toh? :))

    ReplyDelete
  3. emang.. uang bukan segala-galanya.. tp segala-galanya butuh uang. #wataaaaaaaaw!

    ReplyDelete